Kamis, 22 Mei 2014

Kidung Penguripan Dalam Tembang Jawa

Memahami Makna Kehidupan Lewat Tembang Jawa

Seni Tembang Jawa adalah karya besar yang penuh dengan nasehat kehidupan. Diciptakan melalui kajian yang mendalam atas landasan sosiologis dan filsafat jawa. bermaksud mengkaji karya-karya besar para pujangga, kanjeng sunan, dan filosofi jawa lainnya serta menyempurnakan karya ini demi kelestarian dunia kesastraan jawa.
Mudah-mudahan suguhan Tembang Jawa ini mampu memberi energi yang besar dalam berkarya terus menerus sehingga Kidung Panguripan pada akhirnya dapat menjadi buku panutan dan kumpulan sastra jawa yang berguna bagi para pembaca. 
Sugeng maos lan ugi damel renungan.......

Sinom
Tembang sinom pangeran katon
Nyangking rina wengi mbabar lelakon
Rikolo bayi banyu gege wus keprabon
Najan gede nanging jiwa isih enom
Bedane wus ora turu nang pangkon
Pindo lakune dina mangulon
Satindake dadi lakon
Satindake dadi pitakon
Ywa nganti luput dadi layon
Sinom: Si-enom, nom-noman, remaja
Terjemah:
Nyanyian Remaja bagai penampakan sang pangeran
Membawa siang malam, membuka cita-citanya
Di saat bayi dimandikan dan menjadi remaja
Meskipun besar jasmaninya tetapi jiwanya masih muda
Yang membedakan, tidurnya tidak lagi dipangkuan
Seperti hari-hari berjalan ke arah barat
Setiap tindakannya menjadi lakon
Setiap tindakannya menjadi pertanyaan
Jika tidak hati-hati dapat tidak tertolong.

 

Asmaradhana
Pepajange tembang asmaradana
Panjange den arani asmara dahana
Werdine sifat janmo jroning asmara
Pinda padang rembulan padange rina
Wong enom tan waskito rusaking jiwa raga
Tan emut welinge ibu lan rama
Agni ngobong ati ngidung asmara
Dadi lakon keprabon pinda raja
Terjemah:
Hiasan tembang asmaradana
Singkatan dari asmara dahana (asmara yang berapi-api)
Rahasianya sifat manusia dalam asmara
Seperti terangnya rembulan terangnya matahari
Remaja yang tidak waspada merusakkan jiwa dan raga
Tak ingat pesan Bapak dan Ibunya
Api membakar, gelorakan lagu asmara
Menjadi lakon(tokoh idola), bagaikan raja berkuasa
Asmaradana: Asmara Dahana (api asmara, gelora cinta)


Selasa, 04 Maret 2014

Cerita Lakon Wayang Kulit Klasik (jawa)

Sanghyang Tunggal

Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Darmani putri Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) raja Kahyangan Keling (negeri Selong) yang tidak lain adalah kakak kandung Sang Hyang Wenang sendiri. Lalu Sang Hyang Tunggal dinobatkan menjadi raja di Kahyangan Keling menggantikan Sang Hyang Darmajaka. Dari perkawinannya dengan Dewi Darmani, Sang Hyang Tunggal dikaruniai beberapa orang anak dalam wujud 'akyan' (jasad halus) mereka adalah : Sang Hyang Rancasan / Sang Hyang Rudra / Dewa Esa, Sang Hyang Dewanjali dan Sang Hyang Darmastuti.

Sang Hyang Tunggal yang gemar membaca Serat (kitab) Pustaka Darya yang berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis) itu menjadi tertarik dengan kisah perjalanan Sang Hyang Nurcahya (kakek buyutnya). Ia memutuskan untuk meniru sang kakek buyut, yaitu bertapa untuk mencapai cita-citanya menjadi penguasa di tiga lapisan dunia (Tribuana / Triloka). Kahyangan Keling pun ia serahkan kepada putera sulungnya yaitu Sang Hyang Rudra.


Sang Hyang Tunggal kemudian bertapa tidur di atas sebuah Batu Datar. Begitu heningnya ia bertapa, ketika terbangun ia telah berada di sebuah istana indah di dasar samudera. Tanpa sadar sebenarnya Sang Hyang Tunggal telah diculik oleh raja siluman kepiting bernama Sang Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) untuk dinikahkan dengan putrinya. Putri Sang Hyang Rekatama yang bernama Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) mengaku pernah bertemu dengan Sang Hyang Tunggal di alam mimpi, dan jatuh hati kepadanya. Karena itu adalah jalan untuk mewujudkan cita-citanya, maka Sang Hyang Tunggal menerima lamaran tersebut.

Sang Hyang Tunggal lalu membawa Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) ke istana Jonggring Salaka (Kahyangan Suralaya) di gunung Tengguru (Himalaya) untuk mendapat restu dari ayahnya. Kemudian Sang Hyang Wenang menyerahkan Kahyangan Suralaya kepada Sang Hyang Tunggal. Dan lalu Sang yang Wenang mokswa, tinggal di swargaloka awang-uwung kumitir.

Sang Hyang Tunggal kini bersemayam di Kahyangan Suralaya bersama kedua istrinya, Dewi Darmani dan Dewi Wirandi. Saat itu Kahyangan Suralaya masih belum berpenghuni lain selain mereka bertiga.


Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur.

Sang Hyang Tunggal bermujasmedi mengheningkan cipta masuk ke Swargaloka Awang Uwung Kumitir. Dihadapan Sang Hyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya.

Sang Hyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan ‘Tirta Kamandalu’ kepada Sang Hyang Tunggal.

Sesuai petunjuk ayahnya, telur itu ia puja hingga meretak dan pecah berserakan menjadi tiga bagian, kulit, putih dan merah telur. Sang Hyang Tunggal menyiramkan ‘air kehidupan’ Tirta Kamandalu secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib, kulit, putih dan merah telur itu berubah menjadi tiga sosok bayi. Sang Hyang Tunggal memberi nama masing-masing bayi yang tercipta, dari kulit telur diberi nama Sang Hyang Antaga, sedangkan bayi yang tercipta dari putih telur diberi nama Sang Hyang Ismaya, dan bayi yang tercipta dari merah telur diberi nama Sang Hyang Manikmaya. Kelak ketiga putra Sang Hyang Tunggal ini akan mempunyai peran penting dalam meramaikan Jagat Pramuditya (wayang).

Silsilah, Nabi Sis :
1. Anwar (sanghyang nurcahya)
2. Sanghyang Nurasa
3. Sanghyang Wenang
4. Sanghyang Tunggal
5. Sanghyang Manikmaya
6. Sanghyang Brahma
7. Bramasada
8. Bramasatapa
9.
Parikenan
10. Manumayasa
11. Sekutrem
12. Sakri
13. Palasara
14. Abiyasa
15. Pandu
16. Arjuna
17. Abimanyu
18. Parikesit
19. Yudayana
20. Yudayaka
21. Jaya amijaya
22. Kendrayana
23. Sumawicitra
24. Citrasoma
25. Pancadriya
26. Prabu suwela
27. Sri mahapunggung
28. Resi kandihawan
29. Resi gentayu
30. Lembu amiluhur
31. Panji asmarabangun
32. Rawisrengga
33. Prabu lelea
34. Mundingsari
35. Mundingwangi
36. Jakasuruh
37. Prabu Siliwangi
38. Nyi mas rarasantang
39. Sunan gunung jati (syarif hidayatulloh). Dst
 

Begawan Parikenan,

BEGAWAN PARIKENAN atau Bambang Parikenan adalah putra Bathara Brahmanaresi/Bremani (pedalangan jawa) dengan Dewi Srihuna/Srihunon, putri Sanghyang Wisnu dengan permaisuri Dewi Sripujayanti. Ia mempunyai dua orang saudara seibu lain ayah, putra Dewi Srihuna dengan Bathara Brahmanasadewa/ Brahmanaraja, kakak kandung Bathara Brahmanaresi, masing-masing bernama; Dewi Srini dan Dewi Satapi.

Sejak kecil Bambang Parikenan tinggal di kahyangan Untarasagara dalam asuhan Sanghyang Wisnu dan Dewi Sripujayanti, karena ayahnya Bathara Brahmanaresi turun ke Arcapada hidup sebagai brahmana di pertapaan Paremana, pegunungan Saptaarga. Sedangkan ibunya Dewi Srihuna tinggal di kahyangan Daksinageni, kahyangannya Bathara Brahma.


Bambang Parikenan menikah dengan saudara sepupunya sendiri, Dewi Bramaneki, putri Prabu Basurata/Bathara Srinada raja negara Wirata dengan Dewi Bremaniyuta (Bathara Srinada adalah putra Sanghyang Wisnu dengan Dewi Srisekar/Sri Widowati, sedangkan Dewi Bremaniyuta adalah putri Bathara Brahma dengan Dewi Rarasyati). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh empat orang putra masing-masing bernama; Dewi Kanika. Kariyasa/Resi Manumayasa, Resi Manobawa dan Resi Paridarma. Resi Manumayasa kelak turun ke Arcapada membuat pertapaan di puncak Retawu, gunung Saptaarga, menikah dengan Dewi Kaniraras, turun-temurun menurunkan keluarga Pandawa dan Kurawa.

sumber: cerita seni budaya wayang Indonesia
motto
-Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
-Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

Keterangan: gambar wayang karena tidak mempunyai koleksi, kami menyesuaikan.



















Senin, 25 November 2013

Musik Gending Jawa


Makna Sebuah Alunan Gending Jawa

Apakah anda pernah mendengar lagu ’Yen neng tawang ana lintang dengan gending jawa yang dibawakan oleh waljinah atau mountos? Tentu sebagaian orang atau yang memang kenal dengan musik gending jawa tersebut sangat dalam maknanya.
Ketika mendengarkan musik lantunana jawa yang dibawakan oleh waljinah itu suaasana nan syahdah ketika mendengarnya sangat terasa ketika sesorang merasakan indahnya jatuh cinta. Sungguh elok liriknya, bukan cinta yang syarat dengan nafsu dan egoisme tinggi, lagu itu mengisyaratkan bahwa ketika manusia (khususnyamanusia jawa) dengan kelembutan dan kesopanan yang adilung menggetarkan seluruh sel-sel dalam tubuh bahkan tanpa perjumpaan pun seseorang dapat merindu sangat dalam sungguh sangat dirasakan dalam alunan musik itu.
Penggalan liriknya: ’’Yen neng tawang ana lintang, aku ngenteni sliramu, cah ayu, dengarkankah tangisan hati, menggema suara lirihnya’’ (ketika ada bintang di langit, aku menanati kedatangan mu, cantik. dengarkanlah tangisan hati, menggema suara lirihnya)
Ada kesan yang sangat anggun dan suci dalam cerita percintaan yang tersirat dari lagu tersebut. Ketika seseorang kekasihnya menunggu kedatangan sang kekasihnya yang sekian lama tak kunjung datang, hanya bisa berbicara pada bintang-bintang yang ada di langit teringat ketika janji-janji yang telah diucapakan. 

Sebenarnya tak lain sama halnya cerita percintaan yang sering dialami oleh jiwa-jiwa manusia, namun yang membedakan dengan gaya musik yang ’’njawani’’ dengan tata krama bahasanya luhur, sangat mengesankan.
Tak kan lekang oleh waktu lagu itu.walipun tergerus arus globalisasi yang kian menerpa yang banyak tergerus dengan musik-musik remix, lagu korea bahkan gaya-gaya ala korea (bisa rambut, lagu-lagu yang dibuat dengan model boyband, grilband dsb) ya memang tak dapat dipungkiri adakalanya kaum muda sekarang sudah menggemari lagu-lagu luar negeri ya tidak semua tentunya. Yang dengan demikian akan mudah saja tergerus keribadian bangsa Indonesia khusunya kaum muda, yang condong kebarat-batatan padahal musik-musik Indonesia akan lebih mampu menumbuhkan karakter-karakter bangsa Indonesia walaupun itu musik daerah (dengan bahasa daerahnya masing-masing) dari berbagai musik di nusantara maupun musik Indonesia (musik nasional dengan bahasa Indonesia).
Tembang jawa tersebut hanya salah satu contoh saja dengan tembang dan alat musik khas daerah tentu di seluruh nusantara ini pasti mempunyai karakteristiknya masing-masing yang tentu sangat pas ditelinga dan hati yang mendengarnya.