Senin, 25 November 2013

Musik Gending Jawa


Makna Sebuah Alunan Gending Jawa

Apakah anda pernah mendengar lagu ’Yen neng tawang ana lintang dengan gending jawa yang dibawakan oleh waljinah atau mountos? Tentu sebagaian orang atau yang memang kenal dengan musik gending jawa tersebut sangat dalam maknanya.
Ketika mendengarkan musik lantunana jawa yang dibawakan oleh waljinah itu suaasana nan syahdah ketika mendengarnya sangat terasa ketika sesorang merasakan indahnya jatuh cinta. Sungguh elok liriknya, bukan cinta yang syarat dengan nafsu dan egoisme tinggi, lagu itu mengisyaratkan bahwa ketika manusia (khususnyamanusia jawa) dengan kelembutan dan kesopanan yang adilung menggetarkan seluruh sel-sel dalam tubuh bahkan tanpa perjumpaan pun seseorang dapat merindu sangat dalam sungguh sangat dirasakan dalam alunan musik itu.
Penggalan liriknya: ’’Yen neng tawang ana lintang, aku ngenteni sliramu, cah ayu, dengarkankah tangisan hati, menggema suara lirihnya’’ (ketika ada bintang di langit, aku menanati kedatangan mu, cantik. dengarkanlah tangisan hati, menggema suara lirihnya)
Ada kesan yang sangat anggun dan suci dalam cerita percintaan yang tersirat dari lagu tersebut. Ketika seseorang kekasihnya menunggu kedatangan sang kekasihnya yang sekian lama tak kunjung datang, hanya bisa berbicara pada bintang-bintang yang ada di langit teringat ketika janji-janji yang telah diucapakan. 

Sebenarnya tak lain sama halnya cerita percintaan yang sering dialami oleh jiwa-jiwa manusia, namun yang membedakan dengan gaya musik yang ’’njawani’’ dengan tata krama bahasanya luhur, sangat mengesankan.
Tak kan lekang oleh waktu lagu itu.walipun tergerus arus globalisasi yang kian menerpa yang banyak tergerus dengan musik-musik remix, lagu korea bahkan gaya-gaya ala korea (bisa rambut, lagu-lagu yang dibuat dengan model boyband, grilband dsb) ya memang tak dapat dipungkiri adakalanya kaum muda sekarang sudah menggemari lagu-lagu luar negeri ya tidak semua tentunya. Yang dengan demikian akan mudah saja tergerus keribadian bangsa Indonesia khusunya kaum muda, yang condong kebarat-batatan padahal musik-musik Indonesia akan lebih mampu menumbuhkan karakter-karakter bangsa Indonesia walaupun itu musik daerah (dengan bahasa daerahnya masing-masing) dari berbagai musik di nusantara maupun musik Indonesia (musik nasional dengan bahasa Indonesia).
Tembang jawa tersebut hanya salah satu contoh saja dengan tembang dan alat musik khas daerah tentu di seluruh nusantara ini pasti mempunyai karakteristiknya masing-masing yang tentu sangat pas ditelinga dan hati yang mendengarnya. 

Seni Budaya Wayang Kulit


Wayang Kulit, Seni Pertunjukan Jawa

Malam di Perumahan Graha Prima Tambun Bekasi Jawa barat akan terasa hidup jika anda melewatkannya dengan melihat wayang kulit. Irama gamelan yang rancak berpadu dengan suara merdu para sinden takkan membiarkan anda jatuh dalam kantuk. Cerita yang dibawakan sang dalang akan membawa anda larut seolah ikut masuk menjadi salah satu tokoh dalam kisah yang dibawakan. Anda pun dengan segera akan menyadari betapa agungnya budaya Jawa di masa lalu.
Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Kulit yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.

Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
~~ Itulah sekelumit tentang Wayang Kulit (jawa) dalam pementasannya.


sumber: cerita seni budaya wayang Indonesia
motto
Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia




















Selasa, 19 November 2013

Peribahasa Jawa




Paribasan; arti dan fungsi

1. Arep jamure emoh watange.
Yang berarti ‘gelem kepenake ora gelem rekasane (mau enaknya saja yang sulit-sulit dihindari). Peribahasa tersebut ditujukan bagi orang-orang yang malas bekerja, malas berusaha, cuek dan hanya mau hasilnya saja (tidak mau tahu tentang proses yang penting terima hasil). Selain itu peribahasa tersebut berfungsi sebagai sindiran ataupun pitutur sinandi agar jadi orang janganlah seenaknya sendiri, tidak mau proses dan hanya ingin tahu / menguasai hasilnya.

2. Esuk dhele sore tempe.
Yang berarti ‘mencla-mencle (plin-plan, tidak konsekwen bicaranya). Peribahasa ini merupakan kata penghalus untuk menyebut seseorang yang tidak konsekwen bicaranya. Tradisi mengungkapkan / menanggapi sesuatu dengan bahasa yang tersirat ini sering digunakan dalam masyarakat jawa dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kesalahpahaman akibat penggunaan bahasa.

3. Idu didilat maneh
Yang berarti ‘njabel gunem kang wis kawetu (menarik kembali perkataan / keputusan yang sudah tidak dipakainya). Kata-kata ini juga berfungsi sebagai kalimat penghalus untuk menanggapi ungkapan dari seseorang yang tidak konsekwen mengenai apa yang dibicarakannya.

4. Cecak nguntal empyak
Yang berarti ‘duwe gegayuhan kang ora timbang karo kekuatane (cita-cita yang tidak disesuaikan dengan kekuatannya). Kalimat ini sama halnya juga dengan kalimat sindiran mengenai suatu tindakan / keinginan yang tidak dipertimbangkan dulu dengan keadaannya. Peribahasa ini mengajarkan untuk senantiasa berkaca, melihat kekuatan, kemampuan dan kekurangan kita dalam mengerjakan sesuatu. Angkuh, menganggap diri mampu, kuat merupakan tindakan yang hanya akan membuat kita semakin terpuruk.

5. Car-cor kaya kurang janganan
Yang berarti ‘guneman waton metu tanpa dipikir dhisik (berbicara tanpa dipikir dulu baik buruknya). Peribahasa ini mengajarkan hendaknya sebelum mengatakan sesuatu itu dipikir dulu, ditimbang baik buruknya, manfaatnya dan sebagainya. Sebab salah dalam berkata bisa menyebabkan kekacauan, permusuhan dan semacamnya. Hal ini terkait juga dengan ungkapan jawa ‘ajining dhiri gumantung saka lathi’, bahwa harga diri seseorang ditentukan dari perkataannya, semakin baik apa yang diucapkannya baik pula tanggapan dari lawan bicaranya, begitu pula sebaliknya.       

6. Kakehan gludhug kurang udan.
Yang berarti ‘kakehan omong nanging ora ana buktine (terlalu banyak bicara namun tak ada bukti tindakannya). Peribahasa ini berfungsi untuk menyebut seseorang yang suka dengan janji-janji, iming-iming namun tak ada bukti tindakannya. Selain itu mengajarkan agar jangan sembarangan mengumbar perkataan dan janji karena tindakan tersebut bisa mencelakakannya sendiri.

7. Sabaya pati sabaya mukti
Yang berarti ‘rukun nganti tekan pati’ (niat hidup rukun sampai mati). Ungkapan ini mengajarkan tentang hubungan kekerabatan agar selalu rukun dalam suka dan duka sampai akhir hayat.

8. Tumbak cucukan adu
Yang berarti ‘seneng adul-adul (suka mengadu, melebih-lebihkan sesuatu yang kecil, dsb). Peribahasa ini berfungsi untuk menyebut seseorang yang suka mengadu domba, yang dapat menyulut permusuhan namun dilesapkan dalam bahasa tersebut. disamping sebagai penghalus bahasa juga berfungsi sebagai sindiran.

9. Tumbu oleh tutup
Yang berarti ‘ketemu marang cocokane (ketemu dengan pasangan yang sefaham). Peribahasa ini juga merupakan kalimat penghalus dari pengertian tadi.

10. Ula marani gepuk
Artinya ‘njarak marani bebaya (sengaja menghadang bahaya). Peribahasa berfungsi untuk menyebut sikap seseorang yang terlalu berani, tidak memikirkan akibat, tanpa pikir panjang, sehingga dikatakan sengaja menghadang marabahaya.